Sabtu, 21 Maret 2015

Cerpen Emily dan 7 Berlian Ungu

Kali ini saya akan posting cerpen bertema fiksi
Berikut cerpennya:

 Emily dan 7 Berlian Ungu


Sudah 4 hari Holly dan kedua adiknya, Lizzie dan Bishop berlibur di rumah paman Aldwin di kota JuemprTown. Kota itu terletak di ujung Provinsi Houldshiz. Mereka berlibur disana karena orangtua mereka sedang pergi ke kota Shopdesnv. Betsy dan Hazel, kedua putri paman Aldwin sangatlah baik. hanya saja mereka mempunyai perbedaan. Betsy sangatlah manja pada paman Aldwin dan bibi Lark, istri paman Aldwin. Sedangkan Hazel sangatlah suka berpetualang.

“Huahmmm…” Lizzie menguap lebar. “Membosankan….! Liburan akhir tahun tidak kemana-mana…Ya kan Bishop?” Kata Lizzie sembari mengambil sikat gigi di tasnya. “Yeah” Jawab Bishop. “Sabarlah… Ayah dan Ibu akan cepat pulang dari kota Shopdesnv. Dan kita akan pergi ke pantai” Ujar Holly. “Apakah itu pasti Holly? Kami hanya bisa berharap” Kata Bishop. “Yah semoga saja” Jawabnya.
“Aha! Aku punya ide Lizzie, Holly!” Seru Bishop. “Apa?” Lizzie penasaran. “Baiklah. Begini, kita tanya saja pada Hazel, apakah ada tempat wisata disini atau ada sebuah tempat yang misterius yang akan kita petualangi. Kita kan pernah menguak misteri yang terkandung di dalam Gua Sovt, Bukit Xolp, Rumah Tuan Ayato dan Gunung Alpyi” Saran Bishop. “Bravo!” Seru Lizzie dan Holly bersamaan.
“Holly, Lizzie, Bishop!!! Mari kita makan bersama…” Pangil bibi Lark. “Ah, ya! Baik bibi Lark!” Jawab Bishop. “Ayo!” Holly menggandeng tangan kedua adiknya.

“Selamat pagi paman, bibi, Hazel dan Betsy” Sapa Lizzie. “Oh, hai!” Jawab Betsy. Hazel, paman, dan bibi menjawab dengan senyuman. “Sarapan hari ini cornflakes dengan susu” Bibi Lark membuka pembicaraan. “Wah, sepertinya menarik. Biarku bantu bibi” Tawar Holly. “Oh, terimakasih Holly. Bisakah kau mengambil susu di kulkas?” Tanya bibi Lark. “Tentu” Kata Holly.
“Hazel, Betsy bisakah kita bicara sebentar di pekarangan rumah?” Tanya Bishop. “Baiklah” Kata Betsy. “Begini… Kami ingin menanyakan apakah disini ada tempat wisata atau tempat yang misterius” Tanya Lizzie. “Ohh… Setahuku disini tidak ada tempat wisata tetapi, aku pernah dengar dari Missy bahwa ada sebuah gua misterius di Desa sebelah. Aku belum pernah kesana karena tidak diperbolehkan oleh ayah” Terang Hazel. “Baiklah. Bagaimana besok kalau kita kesan?” Tawar Holly. “Oke. Baiklah. Kita berangkat diam-diam” Kata Bishop.

Esoknya…
Mereka mengendap-endap keluar lewat pintu belakang. Mereka melewati tumpukan bata-bata dan semak belukar. “Nah kita sampai” Kata Hazel. “Ayo!” Lizzie memberanikan diri masuk ke gua duluan. Betsy yang berjalan paling belakang serasa ada yang memanggilnya. Tap… tap.. tap.. Terdengar suara langkah seseorang. Lalu mereka melihat ada seorang perempuan memakai baju warna biru muda dan mempunyai rambut panjang. “Siapa kau?” Tanya Lizzie ketakutan. “Maaf mengagetkan. Aku Emily Cliffrto.” Kata anak yang bernama Emily itu. “Oh.. Salam kenal.. Aku Holly, ini kedua adikku Lizzie dan Bishop. Ini sepupuku, Betsy dan Hazel” Kata Holly. “Sebaiknya kalian jangan kesini. Pulanglah. Disini ada penyihir bernama Chloert Daherna yang menjaga hutan Berlian. Jika kalian kesana kalian akan dikutuk menjadi katak yang tiap harinya mengeluarkan 231 berlian warna-warni.” Cegah Emily. “Tapi, kami ingin kesana” Kata Lizzie. “Kuharap Jangan” Kata Emily. Emily lalu menjatuhkan kotak berwarna kelabu dan pergi. “perempuan aneh” Kata Betsy.

Akhirnya Mereka pun sampai di depan pintu gerbang hutan berlian. Tiba-tiba datang penyihir. “Hihihi… Aku Chloert Daherna penjaga hutan ini” Kata penyihir Chloert. Chloert siap-siap mengangkat tongkat sihirnya, tetapi… “Hai, Chloert Daherna… Bertemu lagi denganku Emily Cliffrto” Tiba-tiba Emily sudah ada di depan mereka. “Oh… Kau Emily Cliffrto… Mau apa kau kesini… ini bukan urusanmu..!” Bentak Chloert. “Heehhh… Urusanku Chloert! Tugasku menyelamatkan mereka! Cepat! Masuk ke dalam hutan!” Kata Emily pada Mereka.

Mereka pun masuk ke hutan. “Wow… banyak sekali berliannya” Kata Betsy. “Cepat keluar dari hutan ini!” Perintah Emily. Mereka hanya dapat 7 berlian ungu.

Akhirnya berlian itu dipakai mereka sebagai tanda persaudaraan mereka. Berlian itu bisa mengabulkan semua permintaan yang mereka bicarakan. Sedangkan Emily gadis misterius itu tidak diketahui keberadaanya.

Cerpen Karangan: Najwa Syifa Mardiyah
Facebook: Najwa Syifa Mardiyah

sumber : http://cerpenmu.com/category/cerpen-fantasi-fiksi

//thanks before\\
tinggalkan coment dan jika suka denganbpostingan saya silakan di like dan follow

Anda juga dapat berkunjung di blog kumpulan puisi :www.puisinadilashernia.blogspot.com

Sabtu, 14 Maret 2015

narnia 4 THE SILVER CHAIR BAGIAN 1

kali ini saya akan memposting cerita narnia ke 4 bagian 1

 Di Belakang Gimnasium

Vv Di Belakang Gimnasium
SAAT itu hari musim gugur yang kelabu
dan Jill Pole sedang menangis di belakang gimnasium.
Dia menangis karena mereka mempermain- kannya. Kisah ini bukan cerita tentang sekolah, jadi aku akan memberitahu sesedikit mungkin tentang sekolah Jill, yang bukan topik menye- nangkan. Sekolah itu perguruan "koeduka- sional" bagi anak-anak laki-laki dan perem- puan, yang dulunya disebut sekolah "cam- puran", beberapa orang berkata otak para pengurusnya lebih tercampur-baur daripada se- kolah itu sendiri. Para pengurus sekolah ini berpikir anak-anak laki-laki dan perempuan seharusnya diizinkan melakukan apa pun yang mereka sukai. Dan sayangnya yang disukai sepuluh sampai lima belas anak paling besar adalah mempermainkan teman-teman mereka. Berbagai macam hal, tindakan yang mengeri- kan, terus berlangsung, padahal di sekolah biasa para guru pasti sudah menemukan dan menghentikan tindakan-tindakan ini pada per- tengahan semester. Tapi bukan itu yang terjadi di sekolah ini. Atau bahkan kalaupun tindakan- tindakan ini diketahui, mereka yang melakukan- nya tidak dikeluarkan atau dihukum. Kepala Sekolah berkata mereka termasuk kasus psiko- logis yang menarik dan memanggil murid-murid ini lalu mengajak mereka bicara berjam-jam. Dan kalau kau tahu hal-hal yang tepat untuk dikatakan pada Kepala Sekolah, hasil akhirnya adalah kau akan jadi murid kesayangan, bukan sebaliknya.
Itulah sebabnya Jill Pole menangis di hari musim gugur yang kelabu di jalan setapak lembap antara dinding belakang gimnasium dan semak-semak. Dan dia belum selesai me- nangis ketika seorang anak laki-laki muncul di pojokan gimnasium sambil bersiul, tangannya dalam kantong. Dia nyaris menabrak Jill.
"Tidak bisakah kau melihat ke mana jalan- mu?" kata Jill Pole.
"Baiklah," kata anak laki-laki itu, "kau tidak perlu marah—" kemudian melihat wajah anak perempuan itu. "Wah, Pole," katanya, "ada apa?"
Jill menampilkan ekspresi aneh, yang biasa- nya terjadi saat kau berusaha mengatakan se- suatu tapi kemudian menyadari, begitu mulai bicara, kau akan mulai menangis lagi.
"Mereka, ya? Seperti biasa," kata anak laki- laki itu sedih, membenamkan tangannya se- makin dalam pada saku.
Jill mengangguk. Dia tidak perlu mengatakan apa pun, bahkan kalau bisa mengatakannya. Mereka sama-sama tahu.
"Nah, dengarlah," kata anak laki-laki itu, "tidak ada gunanya bagi kita—"
Maksudnya baik, tapi cara bicaranya memang mirip orang yang akan mulai menguliahi. Jill tiba-tiba marah besar (yang memang sesuatu yang akan kaulakukan kalau tangismu terputus).
"Oh, pergilah, bereskan urusanmu sendiri," katanya. "Tidak ada yang memintamu datang, bukan? Dan betapa baiknya dirimu mulai mera- beritahu aku apa yang harus kulakukan! Kurasa kau akan bilang aku harus menghabiskan wak- tu untuk menjilat mereka dan melakukan hal- hal yang mereka inginkan, dan datang cepat- cepat kalau mereka panggil, seperti yang kau- lakukan."
13 Oh, ampun!" kata anak laki-laki itu, duduk di pinggiran berumput di tepi semak-semak lalu cepat-cepat bangkit lagi karena rumput itu sangat basah. Dia tidak beruntung bernama Eustace Scrubb, tapi dia bukan anak jahat.
"Pole!" katanya. "Adilkah itu? Apakah aku pernah melakukan hal seperti itu semester ini? Bukankah aku membela Carter soal kelinci? Dan bukankah aku tetap memegang rahasia Spivvins—di bawah siksaan pula? Dan bukan- kah—"
"Aku ti-tidak tahu dan aku tidak peduli," isak Jill.
Scrubb melihat Jill masih belum tenang, dan menawarkan permen pedas. Dia ikut makan satu. Jill mulai bisa berpikir lebih jernih.
"Maafkah aku, Scrubb," katanya. "Aku tidak adil. Kau telah melakukan semua itu—semester ini." "Kalau begitu lupakan semester kemarin,
kalau bisa," kata Eustace. "Aku orang yang berbeda saat itu. Aku dulu—ya ampun! Aku sangat menyebalkan dulu."
"Yah, sejujurnya memang ya," kata Jill. "Kalau begitu kau merasakan perubahan diri- ku, bukan?" kata Eustace.
"Bukan hanya aku," kata Jill. "Semua bilang begitu. Mereka menyadarinya. Eleanor Blakiston mendengar Adela Pennyfather membicarakan perubahanmu di ruang ganti kemarin. Dia bi- lang, 'Harus ada yang mengurus si Scrubb itu. Dia sangat tidak tahu aturan semester ini. Kita harus mengurusnya setelah ini.'"
Eustace gemetar. Semua murid di Sekolah Eksperimen tahu apa artinya "diurus" oleh mereka.
Kedua anak terdiam sesaat. Tetes air jatuh dari dedaunan laurel.
"Kenapa kau begitu berbeda semester lalu?" tanya Jill.
"Banyak hal aneh terjadi padaku saat li- buran," kata Eustace misterius. "Misalnya?" tanya Jill. Eustace diam saja beberapa lama. Kemudian dia berkata:
"Dengar, Pole, kau dan aku membenci tem- pat ini sebesar siapa pun bisa membenci apa pun, bukan?"
"Ya, aku membenci tempat ini," kata Jill. "Kalau begitu kurasa aku bisa memercayai- mu."
"Kau baik sekali," kata Jill.
"Ya, tapi ini benar-benar rahasia. Pole, de- ngar, apakah kau bisa memercayai berbagai hal? Maksudku, hal-hal yang akan ditertawakan semua orang di sini?"
"Aku belum pernah mendapat kesempatan memercayai hal seperti itu," kata Jill, "tapi kurasa aku bisa melakukannya."
"Bisakah kau memercayaiku kalau aku bilang aku pernah keluar dari dunia ini—berada di luar dunia ini—liburan kemarin?"
"Aku tidak mengerti apa maksudmu."
"Yah, jangan pakai perumpamaan dunia ka- lau begitu. Misalkan aku bilang padamu aku pernah pergi ke tempat hewan bisa berbicara dan tempat ada—eh—sihir dan naga—dan— yah, semua hal yang kaukenal dalam dongeng." Scrubb merasa sangat aneh ketika mengatakan semua ini dan wajahnya memerah.
"Bagaimana kau bisa sampai di situ?" tanya Jill. Anehnya dia juga merasa malu.
"Satu-satunya cara yang mungkin—dengan sihir," kata Eustace hampir berbisik. "Aku sedang bersama dua sepupuku. Kami hanya— dibawa begitu saja. Mereka pernah ke sana sebelumnya."
Sekarang setelah mereka berbisik-bisik, entah bagaimana Jill merasa lebih mudah percaya. Kemudian tiba-tiba kecurigaan besar mengua- sai dirinya dan Jill berkata (dengan begitu galak sehingga saat itu dia mirip harimau betina):
"Kalau aku sampai tahu kau mempermain- kanku, aku tidak akan pernah bicara denganmu lagi. Tidak, tidak, tidak."
"Aku tidak bohong," kata Eustace. "Berani sumpah. Aku bersumpah demi—demi segala- nya."
(Saat aku masih bersekolah dulu, anak-anak akan berkata, "Sumpah demi Tuhan." Tapi di sekolah aneh dan jahat ini Tuhan tidak pernah diajarkan.)
"Baiklah," kata Jill. "Aku percaya padamu." "Dan jangan bilang siapa pun?" "Menurutmu aku ini siapa?" Mereka sangat bersemangat ketika mengata- kan ini. Tapi ketika telah mengatakannya, Jill melihat ke sekeliling dan melihat langit musim gugur yang kelabu, mendengar suara tetesan air dari daun, dan memikirkan semua ketidak- berdayaan dalam Sekolah Eksperimen (saat itu semester yang panjangnya tiga belas minggu dan mereka masih harus menjalani sebelas minggu), lalu dia berkata:
"Tapi apa gunanya? Kita tidak di sana: kita di sini. Dan kita jelas tidak bisa ke sana. Atau bisakah kita?""Itulah pertanyaanku selama ini," kata Eustace. "Saat kami kembali dari tempat itu, ada yang memberitahu kedua anak Pevensie (yaitu kedua sepupuku) bahwa mereka tidak bisa ke sana lagi. Mereka sudah tiga kali ke sana. Kurasa mereka sudah menghabiskan giliran mereka. Tapi dia tidak pernah bilang aku tidak bisa kembali. Tentu dia akan berkata begitu, kecuali kalau maksudnya aku akan kembali? Dan aku tidak bisa berhenti bertanya- tanya, bisakah kita—?"
"Maksudmu, apakah ada sesuatu yang bisa membuatnya terjadi?" Eustace mengangguk. "Maksudmu kita bisa menggambar lingkaran di tanah—dan menulis huruf-huruf aneh di sana—dan berdiri di dalamnya—dan mengucap- kan mantra-mantra?"
"Yah," kata Eustace setelah berpikir keras sejenak. "Kurasa itulah yang selama ini kupikir- kan, meskipun tidak pernah kulakukan. Tapi sekarang aku sampai pada kesimpulan, aku merasa semua lingkaran dan mantra itu payah. Kurasa dia tidak menyukainya. Semua itu akan membuatnya tampak seperti kita bisa memerin- tahnya. Padahal sebenarnya, kita hanya perlu meminta.""Siapa sih orang yang selalu kaubicarakan ini?"
"Mereka menyebutnya Aslan di tempat itu," kata Eustace.
"Namanya aneh sekali!"
"Tidak seaneh dirinya sendiri," kata Eustace khidmat. "Tapi mari kita teruskan. Tidak ada ruginya, hanya meminta. Mari berdiri bersisian, seperti ini. Dan ulurkan tangan dengan telapak ke bawah: seperti yang mereka lakukan di Pulau Ramandu—" "Pulau apa?" "Akan kuceritakan lain kali. Dan dia mung-kin ingin kita menghadap timur. Coba lihat, di mana timur?"
"Aku tidak tahu," kata Jill.
"Benar-benar hebat betapa anak perempuan tidak pernah tahu arah mata angin," kata Eustace.
"Kau juga tidak tahu," kata Jill kesal.
"Aku tahu, kalau saja kau tidak terus- menerus mengajak bicara. Aku tahu sekarang. Itu timur, menghadap ke pepohonan laurel itu. Nah, maukah kau mengulangi kata-kata ini setelahku?"
"Kata-kata apa?" tanya Jill.
"Kata-kata yang akan kuucapkan tentu saja," jawab Eustace. "Nah—"
Dan dia mulai, "Aslan. Aslan, Aslan!" "Aslan, Aslan, Aslan," ulang Jill. "Tolong biarkan kami berdua pergi ke—" Saat itu terdengar suara dari sisi lain gimna- sium, berteriak, "Pole? Ya. Aku tahu di mana dia. Dia menangis di belakang gimnasium. Haruskah aku memanggilnya?"
Jill dan Eustace saling memandang, mem- bungkuk di bawah semak-semak, dan mulai merayap menuruni tebing tanah bersemak yang curam dengan kecepatan yang mengagumkan. (Berkat metode pengajaran yang aneh di Seko-lah Eksperimen, murid tidak banyak mengerti bahasa Prancis, Matematika, bahasa Latin, atau hal-hal seperti itu. Tapi murid belajar banyak tentang melarikan diri dengan cepat dan tanpa suara ketika dicari mereka.)
Setelah kira-kira satu menit merayap, Eustace dan Jill berhenti untuk mendengarkan, dan tahu dari suara-suara yang datang bahwa me- reka diikuti.
"Kalau saja pintu itu terbuka lagi!" kata Scrubb saat mereka terus merayap turun, dan Jill mengangguk. Karena di puncak semak- semak ada dinding batu tinggi dan di dinding itu ada pintu menuju padang terbuka. Pintu ini hampir selalu terkunci. Tapi ada saat pintu itu ditemukan terbuka, atau mungkin hanya sekali itu. Tapi kau bisa membayangkan betapa kenangan bahkan pada satu kejadian pun bisa membuat orang berharap, dan mencoba mem- buka pintu itu, karena kalau saja ternyata tidak terkunci, pintu itu merupakan jalan yang bagus untuk keluar dari wilayah sekolah tanpa kelihatan.
Jill dan Eustace, sekarang sangat kepanasan dan sangat kotor karena hampir selalu mem- bungkuk dalam-dalam di balik semak-semak, terengah-engah memanjat dinding. Dan di sana- lah pintu itu, tertutup seperti biasa.
"Rasanya tidak bagus," kata Eustace sambil memegang gagang pintu, kemudian, "O-o-oh. Ya ampun!" Karena gagang itu bergerak dan pintu terbuka.
Sesaat sebelumnya, mereka sama-sama ingin keluar melalui pintu itu secepat mungkin, kalau saja pintu itu tidak terkunci. Tapi ketika pintu itu ternyata terbuka, mereka sama-sama berdiri diam. Karena apa yang mereka lihat cukup berbeda dengan apa yang mereka bayangkan.
Mereka membayangkan akan melihat tebing padang bersemak yang terus menanjak sampai menyatu dengan langit musim gugur yang ke- labu. Tapi malah matahari terik yang menyapa mereka. Cahayanya berpendar melalui pintu seperti terangnya hari bulan Juni masuk garasi saat kau membuka pintu. Sinar itu membuat tetesan air di rerumputan berpendar seperti manik-manik dan menunjukkan betapa kotor- nya wajah Jill karena bekas air mata. Dan cahaya matahari itu jelas datang dari sesuatu yang memang tampak seperti dunia lain—me- nurut apa yang mereka lihat. Mereka melihat tanah yang lebih halus, lebih halus dan cerah daripada apa pun yang pernah dilihat Jill, dan langit biru, serta benda-benda yang begitu te- rang sehingga mungkin saja mereka perhiasan atau kupu-kupu besar terbang ke sana ke- mari.
Meskipun menginginkan sesuatu seperti ini, Jill ketakutan. Dia menatap wajah Scrubb, dan melihat anak itu juga takut.
"Ayo, Pole," kata Eustace dengan napas tertahan.
"Apakah kita bakal bisa kembali? Apakah aman?" tanya Jill.
Saat itu terdengar teriakan dari belakang mereka, suara kecil yang kejam dan penuh kebencian, "Ayolah, Pole," cicit suara itu. "Se- mua tahu kau di sana. Turunlah." Itu suara Edith Jackie, tidak termasuk mereka tapi salah satu pengikut dan penjilat mereka.
"Cepat!" kata Scrubb. "Mari. Berpegangan tangan. Kita tidak boleh berpisah." Dan se- belum Jill menyadari apa yang terjadi, Eustace meraih tangannya dan mendorongnya melalui pintu itu, keluar dari halaman sekolah, keluar dari Inggris, keluar dari dunia, dan memasuki tempat itu.
Suara Edith Jackie menghilang tiba-tiba se- perti suara radio ketika dimatikan. Mereka langsung dikelilingi suara yang berbeda. Suara-suara itu datang dari benda-benda cemer- lang di atas mere- ka, yang setelah terlihat jelas ter- nyata burung- burung. Mereka membuat suara berisik, tapi jauh lebih mirip musik—musik kelas tinggi yang tidak bisa langsung kaumengerti begitu mendengarnya—daripada suara burung mana pun di dunia kita. Tapi, meskipun ada nyanyian burung itu, ada semacam keheningan memekak- kan yang menjadi latar belakang. Keheningan itu, ditambah dengan kesegaran udara, mem- buat Jill merasa mereka pasti berada di puncak gunung yang sangat tinggi.

Scrubb masih memegang tangan Jill dan mereka melangkah maju, melihat ke segala arah. Jill melihat pohon-pohon besar, seperti pohon cedar tapi lebih besar, tumbuh di mana- mana. Tapi karena pepohonan ini tidak tumbuh rapat, dan tidak ada semak-semak, mereka tetap bisa melihat jauh ke dalam hutan dan ke arah kanan-kirinya. Dan sejauh Jill bisa melihat, semuanya sama—tanah datar, burung-burung beterbangan dengan bulu berwarna kuning, biru kehijauan, atau pelangi, bayangan-bayangan biru, dan kekosongan. Tidak ada angin mengu- sik udara yang segar dan cerah itu. Hutan itu sangat sepi.
Tepat di depan mereka tidak ada pohon, hanya langit biru. Mereka terus maju tanpa bicara sampai tiba-tiba Jill mendengar Scrubb berkata, "Hati-hati!" dan merasakan dirinya ditarik ke belakang. Mereka berada tepat di bibir jurang.
Jill termasuk orang beruntung yang tidak takut ketinggian. Dia tidak keberatan berdiri di pinggir jurang. Dia malah agak sebal pada Scrubb karena menariknya ke belakang—"Me- mangnya aku anak kecil?" katanya—dan dia mengibaskan tangannya dari genggaman Scrubb. Ketika melihat betapa pucat temannya, Jill semakin sebal.
"Ada apa?" katanya. Dan untuk menunjuk- kan dia tidak takut, dia berdiri sangat dekat pada bibir jurang, bahkan jauh lebih dekat daripada yang diinginkannya. Kemudian dia memandang ke bawah.
Sekarang dia sadar Scrubb punya alasan untuk pucat, karena tidak ada jurang di dunia kita yang bisa dibandingkan dengan ini. Ba- yangkan dirimu di puncak tebing paling tinggi yang kautahu. Dan bayangkan kau melihat ke bawah ke dasar. Kemudian bayangkan tebing itu terus menurun lagi, semakin jauh, sepuluh kali lebih jauh, dua puluh kali lebih jauh. Dan ketika kau melihat ke bawah ke kedalaman itu bayangkan benda-benda kecil putih yang mungkin, pada pandangan pertama, kausangka biri-biri, tapi kemudian kau sadar bahwa itu awan—bukan gumpalan-gumpalan kecil kabut tapi awan putih gemuk besar yang beberapa di antaranya sebesar gunung. Dan akhirnya, di antara awan-awan itu, kau melihat dasar se- sungguhnya, begitu jauh sehingga kau tidak bisa tahu itu padang atau hutan, tanah atau air, jauh lebih di bawah awan-awan itu dari- pada kau di atasnya.
Jill memandangnya. Kemudian dia berpikir mungkin, sebaiknya, dia bisa mundur selang- kah atau lebih dari pinggir tebing, tapi dia tidak ingin melakukannya karena takut Scrubb bakal berpikir yang tidak-tidak. Kemudian tiba- tiba dia memutuskan dia tidak peduli pada pikiran Scrubb, dan dia lebih baik menjauh dari tepian mengerikan itu dan tidak pernah menertawakan orang yang takut ketinggian lagi. Tapi ketika mencoba bergerak, ternyata dia tidak bisa. Kakinya seolah sudah disemen. Semua benda seperti berenang di depan mata- nya. "Apa yang kaulakukan, Pole? Kembali—si
bodoh!" teriak Scrubb. Tapi suaranya seolah datang dari jauh. Jill merasa Scrubb meraihnya. Tapi sekarang dia tidak bisa menguasai tangan dan kakinya sendiri. Terjadi pergulatan singkat di tepian jurang. Jill terlalu takut dan pusing untuk menyadari apa yang dia lakukan, tapi ada dua hal yang dia ingat seumur hidup (kedua hal itu sering kembali dalam mimpinya). Satu adalah dia berontak melepaskan diri dari



pegangan Scrubb, dan yang lain, di saat yang sama, Scrubb sendiri, sam- bil menjerit mengeri- kan, kehilangan keseim- bangan dan terjatuh ke ke- dalaman.
Untunglah, Jill tidak punya waktu untuk memikirkan apa yang telah dia lakukan. Sejenis binatang besar berbulu terang lari ke pinggir jurang. Dia berbaring, memajukan tubuhnya, dan (inilah yang aneh) meniup. Bukan mengaum atau men- dengus, tapi meniup dari mulutnya yang ter- buka lebar, meniup semantap pengisap debu mengisap. Jill berbaring begitu dekat pada makhluk itu sehingga bisa merasakan napasnya bergetar mantap melalui tubuhnya. Dia ber- baring diam karena tidak bisa bangun. Dia nyaris pingsan, bahkan dia berharap dia benar- benar pingsan, tapi pingsan tidak bisa terjadi begitu saja. Akhirnya dia melihat, jauh di bawahnya, titik kecil hitam melayang menjauh dari tebing namun agak terbang ke atas. Saat titik itu naik, dia juga semakin jauh. Ketika hampir setinggi tebing, dia sudah begitu jauh sehingga Jill tidak bisa melihatnya. Benda itu jelas bergerak menjauh dari mereka dengan sangat cepat. Jill tidak bisa menghilangkan pikiran bahwa makhluk di sebelahnya meniup benda itu menjauh.
Jadi dia berpaling dan menatap makhluk itu. Dia singa.


Mungkin saya cuman bisa posting segini aja
Tunggu kelanjutan bagian dua sampai bagian  enam belas

Narnia 4 ini dibagi menjadi 14 bagian...

sebelumnya saya ucapkan trimakasih sudah berkunjung di blog saya.....*-*/^-^